Sabtu, 30 April 2011

say no to porn

Say No to Porn !!!
(Catatan Kritikal tentang Kebebasan dan Moral Negeri)
Barangkali, untuk saat ini tidak ada ‘berhala’ paradigma yang begitu dahsyat pengaruhnya terhadap kehidupan daripada demokrasi, HAM, dan kebebasan. Disinyalir, kini ketiga berhala tersebut menjadi faktor determinan setiap kebijakan dan tingkah serta pola hidup hampir keseluruhan manusia didunia ini. Euforia kebebasan berekspresi misalnya, merambah dan melabrak berbagai lini privat segmen kehidupan. Seakan-akan manusia adalah segala-galanya (antroposentrisme). Begitulah, disaat manusia terjebak kedalam kubangan multidoktrin, terkadang manusia sering merefleksikan segala sesuatunya secara emosional dan gegabah.
Tantangan terbesar yang banyak dihadapi oleh masyarakat Muslim dewasa ini adalah tantangan perubahan. Bagaimana seseorang mampu konsisten dengan ajaran-ajaran keyakinannya, betapapun modernitas, pluralitas, perubahan zaman dan lingkungan begitu kencang menerpanya.
Terkait dengan wacana seputar kebebasan, HAM, dan demokrasi, diantara isu hangat yang sedang merebak belakangan ini adalah maraknya pornografi di Indonesia. Belakangan ini, hedonisme dan permisfisme mulai menjelma menjadi ‘doktrin’ tersendiri dan akhirnya seolah mendapat legitimasi dari berbagai pihak. Seperti hal sepele memang, persoalan pornografi dianggap hal biasa. Karena mungkin kita sudah terlalu biasa melihat kemaksiatan menjamur di sekitar kita. Dikarenakan –mungkin- merupakan budaya hedonis yang senafas dengan era postmodernisme. Parahnya, saat ini agama mulai disubordinasikan dibawah kepentingan dan nafsu syahwat manusia dengan dalih bahwa, agama mesti diartikulasikan sebagai entitas yang senantiasa relevan dengan zaman. Sehingga, acapkali kita serampangan untuk melakukan interpretasi terhadap agama dan akhirnya kehilangan elan vital aslinya.
Pro dan Kontra Seputar “Playboy Indonesia”
Belum lama ini Indonesia kembali digemparkan dengan sebuah isu mengenai peluncuran majalah Playboy versi Indonesia. Terbitnya salah satu majalah paling hot di dunia ini memang menjadi kehebohan tersendiri di kalangan umat, ada yang mati-matian membela dan mencari suaka kesana-kemari untuk mengabsahkan kesesatan tersebut. Lalu tak sedikit pula yang menolak bahkan melanjutkan aksinya hingga turun ke jalan.
Front Pembela Islam (FPI) dengan lantang akan menjegal majalah Playboy Indonesia, sebagaimana yang dikatakan oleh Ketua Umumnya, Habib Rizieq Shihab; “Kalau mereka tetap terbit pada bulan Maret, akan kami sikat,” jelasnya tanpa ampun, seperti dikutip Antara, Selasa (17/1) (Kompas, 17/01/2006)
Berbeda dengan anggota dari fraksi PKS, Yoyoh Yusroh, yang berpendapat bahwa penerbitan tersebut sah-sah saja asalkan tidak keluar dari mainstream adat ketimuran. Dia menyatakan, “Kita akan turun kalau penerbitan majalah tersebut tidak sesuai dengan budaya bangsa dan adat ketimuran,” katanya. Di tempat yang berbeda, fungsionaris DPP PKS Ledia Hanifa di Jakarta, mengutarakan, “Wakil Presiden sebelumnya secara tegas menolak kehadiran Majalah Playboy Indonesia, tetapi beliau juga mengaku pemerintah tidak bisa apa-apa kalau majalah tersebut akhirnya terbit,”. (Republika, 30/01/2006)
Sementara itu dilain pihak, Bagian Promosi PT Velvet Silver Media (penerbit majalah Playboy Indonesia, Red), Awianto Nugroho sebagaimana yang dikutip oleh Antara di Jakarta, Senin (30/1), dia berujar, “Kami tetap akan menerbitkan majalah Playboy edisi Indonesia dan kami anggap wajar jika ada pihak-pihak yang menentangnya karena mereka memang belum melihat sendiri produknya”. (Kompas 30/01/2006)
Penentangan terhadap majalah yang memiliki logo kelinci bertuksedo ini tak hanya datang dari kalangan Islam saja. Larangan juga datang dari Persatuan Injili Indonesia (PII). Sebagaimana yang dilansir oleh detikcom, Persekutuan Injili Indonesia (PII) turut bersuara menolak penerbitan majalah Playboy Indonesia. “Pemerintah agar melarang penerbitan dan peredaran majalah Playboy di Indonesia,” kata PP PII Bambang Widjaja dalam rilis yang diterima detikcom, Jumat (20/1/2006). Sekretaris Umum Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ) Theophilus Bela juga menentang keras rencana penerbitan majalah Playboy edisi Indonesia. “Saya setuju kebebasan, tetapi jika untuk rencana penerbitan Playboy edisi Indonesia yang artinya akan berbahasa Indonesia, saya tegas menentang,”
Menurut dia, majalah itu tidak cocok dengan budaya bangsa Indonesia karena mengkomersialisasikan tubuh wanita, merupakan aksi pornoaksi dan pornografi. “Kalau yang edisi asing masuk mungkin kita memang tidak bisa berbuat apa-apa karena kita tidak bisa membatasi masuknya arus informasi, tetapi itu tentu akan dijual dalam segmen terbatas, harga mahal dan dalam bahasa asing,” katanya.
Padahal, dulu, lima puluh hari setelah dilantik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengevaluasi kinerja kabinetnya. Salah satu tema yang ia risaukan adalah makin banyaknya pusar nongol di layar kaca. (Lensa, Gatra Nomor 12, 23 Januari 2005)
Ironis memang, disaat DPR sedang menyusun RUU tentang pornografi dan pornoaksi, justru hal tersebut malah makin merajalela. Sebelum Indonesia, Playboy telah diproduksi di 20 negara dengan pola waralaba. Dua puluh negara itu adalah Argentina, Brasil, Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Prancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Jepang, Meksiko, Belanda, Rumania, Serbia, Slovenia, Slovakia, Spanyol dan Ukraina. Dan Indonesia memperpanjang daftar itu.
Tanpa malu-malu, majalah Playboy edisi Indonesia akan beredar bulan Maret mendatang. Walaupun dijanjikan akan disesuaikan dengan kultur negeri kita, Playboy tetaplah Playboy dengan semua citra, atribut, dan kecenderungan yang melekat selama ini. Tidak mungkin majalah tersebut muncul dengan melepas citra, atribut, dan kecenderungan yang sudah dimilikinya.
Hedonisme Style; Laku Keras
Sebenarnya, pro-kontra peluncuran Playboy bukanlah barang baru di Indonesia. Sebelum itu sudah banyak isu-isu yang berkaitan dengan budaya hedonis dan permisif, seperti, kasus mencuatnya film “Buruan Cium Gue”, foto bugil Anjasmara, pose syurnya Kartika ketika tampil di ajang Miss Universe, dan lain-lain. Kasus Palyboy hanyalah perpanjangan tangan dan dampak yang ditimbulkan oleh hedonisme dan permisifisme. Bangsa kita –terutama remaja- lebih tertarik kepada hal-hal yang berbau hiburan, entertainment, dan pola hidup ala Barat yang lainnya. Seolah-olah jika kita bisa meniru lifestyle mereka, kita akan tergolong orang yang modern dan tidak akan dicap kampungan. Padahal sudah jelas, Rasulullah SAW menegaskan, “Barangsiapa yang meniru suatu kaum, maka dia bagian dari mereka”.
Gudrun Krämer (2001), seorang Islamolog asal Jerman pernah mengemukakan bahwa, ciri tatanan Islami adalah syariah, mencakup hukum maupun etika, yang didalamnya tersimpan nilai-nilai Islami. Tidak ada negara yang dapat menyebut dirinya Islami, jika tidak menerapkan syariah dan menerapkannya secara ketat. Ketika berbicara mengenai persoalan etika, Islam tidak menempatkan manusia sebagai tolak ukur dan pusat sumber hukum. Standar mengenai ‘baik’ dan ‘buruk’ bukanlah berdasarkan akal dan nafsu, melainkan berdasarkan syariat. Ada tiga sumber norma dan nilai dalam Islam, yaitu, al-Quran, as-Sunnah (primer) dan ijtihad (sekunder). Oleh karenanya, kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang mendasar, tidak bias, terikat serta terbatas.
Dari deretan potret fenomena sosial bangsa ini, kita bisa melihat betapa memang moral bangsa ini sudah jauh dari arus religi. Perilaku hedonisme ini semakin merasuk ke jiwa setiap anak negeri dengan seabrek kegelisahan yang seharusnya kita kuatirkan sejak dini. Namun, terkadang kita salah memahami opini, sehingga yang kemudian terjadi adalah sikap apatis. Hingga semakin deraslah laju kemaksiatan di bumi pertiwi. Seandainya Playboy Indonesia tersebut mendapat restu dari pemerintah dan jadi diterbitkan, maka anda tidak hanya akan mendapatinya di pinggir-pinggir jalan bahkan anda bisa berlangganan setiap edisinya tanpa ketinggalan. Lalu, semakin terbayangkah anda, bagaimanakah wajah bangsa Indonesia ke depan? Mari kita mulai merenung mengenai efek yang akan ditimbulkannya untuk Indonesia di masa depan? Semoga saja kita semakin mengerti. Tidak pernah ada kata terlambat untuk berubah, tetapi inilah justru awal pergerakan kita menuju Indonesia yang ‘timur’ dan bermoral lagi Islami.
Kontemplasi Paradigmatik
Sebagai organized religion yang universal, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia (akidah, syariah, akhlak). Betapa sering Rasulullah SAW mengingatkan akan pentingnya akhlak, terbukti dengan cukup banyaknya hadits yang menegaskan persoalan tersebut. Empat belas abad yang silam Rasulullah SAW pernah berkata, “Sebaik-baiknya keimanan seorang mukmin adalah yang paling baik akhlaknya,” (HR. Tirmidzi). Kemudian di lain kesempatan, beliau juga pernah bersabda, “Sesungguhnya yang paling kucintai diantara kalian dan (termasuk) orang yang paling dekat tempat duduknya denganku pada Hari Kiamat adalah mereka yang paling baik akhlaknya,” (HR. Bukhari). Begitu juga ketika Rasul ditanya tentang apa yang paling banyak mengantarkan orang masuk surga, maka beliau menjawab, “Yang paling bertaqwa kepada Allah dan paling baik akhlaknya,”
Makanya, tak aneh jika salah satu misi diutusnya beliau adalah untuk mereparasi moral. Rasul SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak,” Moral dan etika dalam Islam memiliki beberapa karakteristiknya tersendiri, yaitu tidak mungkin dipisahkan dengan hukum-hukum syariat yang lainnya, kemudian akhlak Islam tidak tunduk pada keuntungan materi (an-Naf’iyah al-Mâdiyah), dan yang terakahir, selaras dengan fitrah manusia.
Sejatinya, sebagai pekerja-pekerja intelektual kita senantiasa melanjutkan visi dan misi Rasulullah SAW seperti diatas, dan punya andil juga tanggung jawab untuk merubah segala fenomena negatif yang ada disekitar. Pekerjaan intelektual dibangun diatas tiga pilar kesadaran, pertama, kesadaran eksistensial tentang diri. Kedua, kesadaran eksistensial tentang profesi, yang ketiga, kesadaran eksistensial tentang orientasi kemasyarakatan.